Review Trinil: Kembalikan Tubuhku: Penuh Teror yang Intens

Baba Qina - Kamis, 4 Januari 2024 21:45 WIB
Review Trinil: Kembalikan Tubuhku: Penuh Teror yang Intens

Cerita tentang seorang janda yang dibunuh anaknya sendiri yang bernama Trinil menjadi catatan kelam nan menyeramkan di era kejayaan radio pada tahun 1980-an. Persaingan asmara antara ibunya yang janda lalu mencintai lelaki bernama Bagus Sujiwo dan Trinil yang juga menyukai orang yang sama membuat Trinil dengan tega membunuh ibu kandungnya. Ia lalu memisahkan kepala ibunya dengan badannya, lalu badan tersebut dikubur, sedangkan kepalanya dibuang ke sungai.

Kini, sutradara beken Hanung Bramantyo mengangkat drama radio tersebut ke dalam medium film layar, tentu dengan beberapa perubahan cerita dan karakter. Kisah Trinil versi 2024 yang diberi judul Trinil Kembalikan Tubuhku ini akan mengisahkan Rara (Carmela van der Kruk) dan Sutan (Rangga Nattra), pasangan baru menikah yang kembali ke rumah Rara di perkebunan teh setelah pernikahan mereka.

Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang merupakan warisan dari ayah Rara. Kini rumah tersebut menjadi tanggung jawab Rara dan Sutan sambil harus mengelola kebun teh yang juga warisan keluarga Rara. Suatu malam, Rara merasakan ketindihan saat tidur. Menyadari ada yang tak beres, Sutan minta bantuan Yusof (Fattah Amin), teman sekolahnya dari Penang, Malaysia, yang biasa menangani beragam kasus mistis.

Rara menolak ide Sutan yang mengaitkan kejadian ini dengan hal mistis. Namun, teror makin mencekam. Puncaknya, hantu kepala tanpa badan muncul dengan sebuah permintaan, "Trinil, balekno gembungku (kembalikan tubuhku)".

Hanung Bramantyo bersama Haqi Achmad selaku penulis naskah rupanya bersedia untuk meluangkan waktu dalam merangkai misteri. Isi kepala keduanya bukan dikuasai pertanyaan "Kapan harus memunculkan hantu?", melainkan "Bagaimana mengikat atensi penonton terhadap cerita?". Setiap teror tidak hanya bertujuan menakut-nakuti, pun memancing pertanyaan, mencuatkan rasa penasaran penonton akan kebenaran di balik fenomena mistis yang karakternya hadapi.

Trio Carmela-Rangga-Fattah juga tampil kompeten dalam menjaga dinamika sewaktu teror demitnya sedang absen dari layar. Meski ada kalanya dialek yang diucapkan oleh karakter Yusof akan kurang nyaman di telinga native speaker, tapi keberhasilan mereka menghidupkan suasana melalui interaksi kasual telah membayar lunas kekurangan itu. 

Lalu bagaimana dengan kualitas terornya sendiri? Ya, Hanung Bramantyo bisa dibilang berhasil membangun intensitas horornya. Memang terkesan sepele dalam hal menakut-nakutinya, namun Hanung pada akhirnya mampu menciptakan urgensi dari situasi sederhana tersebut guna memacu jantung para penontonnya.

Sayang, tidak semua momen horornya berjalan mulus. Tatkala ia sukses menghantarkan kengerian yang berkesan atmosferik, Hanung justru beberapa kali kepayahan mengemas sekuen bertempo tinggi yang harusnya menjadi kekuatan dalam film-film horor modern. Kadang pilihan shot-nya kurang mendukung, kadang juga akibat dari transisi antar adegan yang dijahit secara kasar sehingga mengganggu aliran intensitas cerita. Babak ketiganya tampil lemah gara-gara dua hal tersebut.

Tapi tidak masalah. Anggaplah nilai minus di atas tadi sebagai risiko eksplorasi dalam proses belajar bagi Hanung Bramantyo yang baru comeback membuat film bergenre horor setelah terakhir kalinya pada 17 tahun yang lalu. Ya, Hanung sepertinya sadar bahwa sebagai individu, ia juga harus terus berbenah dan berkembang. Tapi untuk kali ini, bolehlah kita berikan apresiasi lebih kepada Hanung agar dirinya tidak kapok untuk kembali menjajal peruntungan di genre ini nantinya.