Review The Paradise of Thorns, Film Dramatis Menguras Emosi

Reskia Ekasari - Selasa, 12 November 2024 09:32 WIB
Review The Paradise of Thorns, Film Dramatis Menguras Emosi

Setelah kisah mengharu biru dalam film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’, Thailand kini menghadirkan film dramatis The Paradise of Thorns. Layaknya sinetron dengan kualitas tinggi, film ini mampu menguras emosi penonton.

Baik dari segi plot, sinematografi, akting dan scoring, semuanya memberikan kesatuan yang tepat sasaran. Siapa saja yang menontonnya akan menjadi lebih dekat dengan permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di Thailand.

Sinopsis The Paradise of Thorns

Cerita berawal dari Thongkam yang diperankan Jeff Satur dan Sek diperankan oleh Pongsakorn Mettarikanon, dalam mengelola perkebunan durian. Awalnya, Sek Thongkam menghabiskan uangnya untuk mengembalikan tanah warisan Sek.

Thongkam dan Sek yang merupakan pasangan gay, lantas mengelola tanah warisan menjadi kebun durian yang subur. Ketika hendak masuk ke musim panen, nasib naas pun terjadi, Sek mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.

Film pun memasuki babak baru, di mana keluarga Sek mencoba mengambil alih perkebunan durian dari Thongkam.

Perjuangan Thongkam pun dimulai untuk mempertahankan perkebunan, meskipun hukum di negaranya tidak mengesahkan warisan untuk pasangan sesama jenis.

Menampilkan Kisah Cinta Manis dan Pahit yang Berbeda

Disutradarai oleh Boss Naruebet Kuno, The Paradise of Thorns genre drama ini berhasil menampilkan kisah cinta LGBT yang berbeda.

Jika biasanya kisahnya seputar sulitnya menjalin hubungan sesama jenis, di sini ada cerita tentang hukum.

Pada babak awal film, penonton akan diajak untuk menikmati jalannya hubungan Thongkam dan Sek. Keduanya sama-sama berusaha membangun perkebunan durian dari nol selama lima tahun.

Meskipun sudah bersama dalam waktu lama, Sek dan Thongkam tidak tercatat secara sah di pemerintahan. Kisah pahit muncul di babak kedua, ketika Sek yang meninggal dunia dan Thongkam harus bisa mempertahankan perkebunan durian.

Pemaparan akan hukum di Thailand yang tidak memberikan hak waris kepada pasangan LGBT pun sangat jelas terpaparkan. Masyarakat di luar Thailand pun akan lebih mudah memahaminya setelah menonton film ini.

The Paradise of Thorns film, seolah-olah menampilkan hal yang sampai kini masih menjadi permasalahan pelik di masyarakat Thailand sendiri.

Visualisasi yang Kuat dan Memanjakan Mata

Selain dari segi plot, visualisasi menjadi daya tarik terbesarnya. Sang sutradara dan videografer bekerja dengan sangat apik untuk setiap pengambilan adekan.

Cukup banyak shot wide angle dan juga fokus tepat ketika ingin menggambarkan konflik yang genting. Setiap gambar memiliki kesinambungan yang sangat rapi dengan warna-warna indah yang memanjakan mata.

Satu lagi yang menyentuh adalah The Paradise of Thorns ending dari suara lembut Jeff Satur yang mengisi soundtrack. Penambahan endingnya ini membuat film semakin realistis, khas film Asia.

Sesuai dengan judulnya The Paradise of Thorns, film ini memberikan kesan mendalam tentang kehidupan manis dan pahit.

Film ini akan menimbulkan berbagai pandangan pro dan kontra. Penonton diharapkan dapat lebih bijak dalam menonton.