Review The Boy and the Heron: Film Animasi yang Kaya dan Imajinatif

Baba Qina - Rabu, 13 Desember 2023 16:12 WIB
Review The Boy and the Heron: Film Animasi yang Kaya dan Imajinatif

Hayao Miyazaki adalah legenda hidup dan itu tidak bisa dibantah. Bersama Isao Takahata ia membuat Studio Ghibli yang menjadi salah satu studio film animasi terbaik yang pernah ada. Jika ada studio yang bisa secara konsisten menandingi bahkan melebihi Pixar, Ghibli adalah studio tersebut. Film-film yang dibuat oleh Miyazaki juga layak ditempatkan dalam daftar karya-karya terbaik Studio Ghibli, yaitu mulai dari Spirited Away, Princess Mononoke, Ponyo, hingga The Wind Rises.

Kini, sepuluh tahun setelah The Wind Rises, Miyazaki akhirnya kembali menyutradarai film yang awalnya direncanakan menjadi persembahan terakhir sutradara legendaris Hayao Miyazaki. Namun, Studio Ghibli telah mengonfirmasi bahwa Miyazaki mengubah pikirannya dan akan tetap membuat film selepas The Boy and the Heron.

Film The Boy and the Heron menceritakan tentang seorang laki-laki bernama Mahito Maki (Soma Santoki) yang baru saja kehilangan ibunya. Setelah ibunya meninggal, ayah Mahito (Takuya Kimura) menikah lagi dengan Natsuko (Yoshino Kimura) yang merupakan adik dari mendiang ibunya. Mahito dan keluarganya kemudian pindah ke pedesaan dan sampai saat tersebut ia tetap mempunyai perasaan yang mengganjal kepada ayah dan ibu tirinya. Mahito masih tidak bisa menerima kehadiran dari Natsuko begitu saja.

Sementara itu, Mahito tiba-tiba bertemu dengan seekor bangau yang ternyata bisa berbicara kepadanya. Bangau tersebut lalu mengajak Mahito untuk pergi ke sebuah menara yang disebut-sebut sebagai tempat di mana ibu Mahito saat ini berada. Melalui tempat tersebut Mahito lalu menjalani sebuah petualangan yang tidak biasa.

Sebagaimana umumnya film-film Miyazaki, fantasi adalah unsur utama untuk The Boy and the Heron. Hanya saja, alih-alih mengedepankan aksi-fantastis, penekanan pada plot film cenderung pada aspek dramatiknya. Hal itulah yang membuat animasi ini justru terasa kaya dan imajinatif. Beberapa asupan filosofi memang terasaJepang sekali. Tapi, secara umum, pesan dalam film dapat berlaku secara universal.

Alur filmnya bergerak secara perlahan, karena Miyazaki ingin menghadirkan kompleksitas serta kedalaman untuk cerita dan karakternya. Kita perlu mengenal siapa itu Mahito, serta ruang lingkup di sekitarnya. Oleh karenanya, film ini dengan sengaja memberi waktu untuk proses elaborasi tadi. Dan itu terbayar dengan baik.

Karakter dan seting The Boy and the Heron adalah hasil ilustrasi dua dimensi olahan secara manual oleh tangan. Namun karena dikerjakan dengan presisi nyaris sempurna oleh Miyazaki, maka terlihat penuh nuansa dan dinamika. Seperti lukisan yang menjelma hidup!

The Boy and the Heron kaya dengan warna, kendatipun dihadirkan dengan lembut, sesuai dengan ritme film. Fantasi memenuhi adegannya, meski tidak mencolok karena pendekatan yang dipilih ada pada konteks membumi dan realistik. Miyazaki dengan gemilang mengajak kita untuk larut dalam kisahnya. Mengharu-biru tanpa harus cengeng. Penuh pesan tanpa menceramahi. Kadang gelap menyeramkan, walau lebih sering cerah dan menggelitik.

Dan saat filmnya usai, tak terasa kita baru saja tersedot dalam dunia penuh keajaiban yang lekat di hati dari Hayao Miyazaki. Menegaskan bahwa The Boy and the Heron akan menjadi sajian klasik yang tak akan bosan disaksikan lagi dan lagi.