Review Singsot: Siulan Kematian: Suguhkan Atmosfer Mencekam yang Memikat

Baba Qina - Selasa, 18 Maret 2025 08:26 WIB
Review Singsot: Siulan Kematian: Suguhkan Atmosfer Mencekam yang Memikat

Sejatinya, para kaum Gen Z memiliki kelebihan  serta kelemahan. Salah satunya, individualis atau egosentris. Nah, film Singsot: Siulan Kematian yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo ini bisa dijadikan sebuah pembelajaran bagi kita semua, utamanya bagi para Gen Z tadi yang terkadang masih mengabaikan nasihat yang sudah digulirkan oleh orangtua.

Singsot: Siulan Kematian akan berkisah tentang Ipung (Ardhana Jovin) yang dinasihati oleh kakeknya (Landung Simatupang) dan neneknya (Sri Isworowati), agar tidak bersiul saat Maghrib. Bersiul atau lebih dikenal dengan istilah singsot, dipercaya sebagai pamali di desa mereka. Ipung yang masih duduk di bangku SD tidak mengindahkan perkataan kakek dan neneknya. Seolah menantang, Ipung tetap bersiul. Hal yang ditakutkan pun terjadi, Ipung bermimpi diteror sosok yang menjelma menyerupai orang-orang yang ia kenal, seperti kakek neneknya, hingga diakhiri oleh mimpi tentang kematian.

Saat terbangun, ternyata teror tersebut tetap menghantui. Hingga Ipung hanya memiliki dua pilihan: mati atau lepas dari kutukan. Lantas, takdir mana yang akan dipilih oleh Ipung?

Sebagai salah satu film bergenre horor, Singsot: Siulan Kematian bisa dibilang cukup memiliki kontribusi yang signifikan dalam memperkaya keragaman genre sinema Indonesia. Dengan menyajikan cerita yang menarik dan atmosfer mencekam, film ini telah berhasil menghadirkan pengalaman sinematik yang memikat bagi penonton.

Singsot: Siulan Kematian juga telah membuktikan bahwa meskipun berdurasi singkat (kurang dari 80 menit), namun tetap berhasil menjadi sebuah karya film yang mampu memberikan dampak yang besar dalam industri sinema Indonesia khususnya genre horor yang memiliki pangsa pasar yang besar.

Di saat yang bersamaan, aktor cilik Ardhana Jovin berhasil mengamankan posisinya sebagai calon aktor unggulan masa depan di industri kita karena performanya yang organik dan soulful, sehingga menjadi nyawa utama film ini. Siti Fauziah juga mampu membuktikan dengan gemilang bahwa ia bisa lepas dari bayang-bayang karakter Bu Tejo atau karakter sejenisnya. Transformasinya yang kuat adalah salah satu daya tarik di film ini.

Kalaupun ada satu keluhan dari film ini, mungkin itu datang dari beberapa jumpscare yang masih berakhir flat dan cenderung mengganggu, di saat film ini sejatinya jauh lebih powerful tanpa jump scare yang repetitif lantaran dramanya sendiri benar-benar memikat.

Pada akhirnya, kita patut memberi selamat kepada Wahyu Agung Prasetyo untuk debutnya yang cukup istimewa dan potensial ini, yang tentunya secara tidak langsung juga menjadi penggembira bagi pegiat film daerah yang bermimpi menembus industri film nasional namun dengan pola produksi film independen daerah, which is too good to be true.