Review Petak Umpet: Konsepnya Unik, CGI-nya Oke, Tapi...

Baba Qina - Sabtu, 23 November 2024 10:21 WIB

Beberapa waktu silam, dunia maya tanah air sempat dihebohkan oleh sebuah video viral di YouTube yang berjudul Diculik Wewe Gombel. Video ini sempat ramai diperbincangkan karena mengisahkan seorang anak yang diduga hilang akibat diculik oleh sosok mistis Wewe Gombel. Cerita ini kemudian diangkat menjadi film berjudul Petak Umpet dan disutradarai oleh Rizal Mantovani.

Kisah dalam film Petak Umpet dimulai dengan permintaan sederhana dari Masayu (Putri Ayudya), ibu Rahman, agar Rahman (Randy Martin) menemani Sari (Alesha Fadillah Kurniawan) bermain di sekitar rumah. Namun, Rahman yang lebih tertarik bermain game online, memilih untuk membiarkan Sari bermain bersama teman-temannya. Ketegangan dimulai ketika Sari memilih bersembunyi di rumah tua yang dikenal angker.

Ketidakhadiran Sari setelah permainan selesai membuat semua orang panik. Situasi semakin mencekam ketika muncul dugaan bahwa Sari telah diculik oleh Wewe Gombel, sosok urban legend yang terkenal menculik anak-anak. Perasaan bersalah mendorong Rahman untuk bersama kedua sahabatnya, Rinto (Adam Farrel) dan Shila (Saskia Chadwick), mencari Sari ke rumah tersebut.

Misi pencarian ini menjadi semakin sulit karena waktu yang mereka miliki terbatas. Menurut legenda, jika Sari tidak ditemukan dalam waktu tiga hari, ia akan hilang selamanya. Dengan keberanian dan rasa bersalah, Rahman berusaha mengatasi rasa takut dan menyelamatkan adiknya dari ancaman mistis yang sangat nyata. Berhasilkah ia?

Well, kelemahan utama dari film Petak Umpet ini memang terkait inkonsistensi. Sebuah departemen bisa tampil apik di satu titik, kemudian mengalami penurunan di titik berikutnya. Naskah keroyokan buatan Puji Lestari, Ali Farighi, dan Nuugro Agung pun tidak terkecuali. Bangunan dunianya memang kreatif, tapi kemudian cukup keteteran ketika mengembangkan mitologinya.

Rizal Mantovani yang duduk di kursi penyutradaran juga tak terlepas dari beberapa keunggulan sekaligus kekurangan pengarahannya, khususnya pada bagian klimaksnya. Rizal mungkin cukup tegas ketika meninggalkan shot-shot horor termasuk menekan kuantitas jumpscare. Sosok Wewe Gombel di sini lebih dekat ke antagonis fantasi, yang fungsi kemunculannya adalah menakut-nakuti protagonisnya, bukan penonton.

Namun, biarpun dibekali CGI yang bisa dibilang cukup rapi, Rizal masih lemah dalam membungkus adegan berintensitas tinggi. Pilihan shot-nya di beberapa adegan masih terlihat canggung. Klimaksnya berpotensi tampil luar biasa andai tak diganggu kelemahan tersebut, ditambah naskah yang menawarkan cara sangat sederhana guna mengalahkan sang demit.

Ya, begitulah Petak Umpet ini. Inkonsisten. Konsepnya unik, namun keseruannya dihalangi oleh aliran alur yang tergolong draggy bagi hiburan berisikan protagonis anak. Tapi, paling tidak, cukup menarik ketika kita menantikan eksplorasi ke arah mana lagi yang bakal dijajal oleh film-film sejenis ini.