Review Perjamuan Iblis: Suguhkan Teror Mumpuni, Tapi...
Baba Qina - Sabtu, 18 November 2023 17:40 WIBPada tahun 2018 lalu, sineas Timo Tjahjanto merilis film berjudul Sebelum Iblis Menjemput. Ada kesan gahar berkat pemakaian kata "iblis" di judulnya. Popularitas kata "hantu" pun bergeser. Lima tahun berselang, iblis bak telah kehilangan wibawa akibat eksploitasi industri. Di bulan November saja bakal ada tiga film yang menggunakan kata “iblis” di judulnya, termasuk film berjudul Perjamuan Iblis yang disutradarai oleh Kenny Gulardi ini.
Perjamuan Iblis mengisahkan tentang Kala (Putri Ayudya) dan Radit (Fandy Christian), pasangan suami istri yang awalnya hidup bahagia. Kehidupan mereka menjadi sempurna ketika mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Bima (Jordan Omar), yang merupakan impian mereka sejak awal pernikahan. Namun, kebahagiaan mereka tiba-tiba terguncang oleh sebuah berita tragis. Ibu Radit, yang sebelumnya hilang, ditemukan tewas dalam keadaan bunuh diri di rumah lama Radit.
Setelah kematian yang tragis itu, keluarga Radit mulai mengalami gangguan-gangguan supranatural yang menakutkan. Makhluk astral sering kali datang dan melakukan teror dengan berbagai cara di rumah mereka. Teror ini membuat mereka merasa tertekan, dan yang lebih mengkhawatirkan, Bima tampak menjadi target utama makhluk-makhluk tersebut. Tanpa mengetahui penyebab pasti, makhluk-makhluk astral ini sepertinya berusaha mencelakakan Bima.
Kala dan Radit merasa semakin khawatir akan keselamatan anak mereka. Mereka pun memutuskan untuk meninggalkan rumah lama mereka dalam upaya untuk menghindari gangguan gaib tersebut. Meskipun mereka sudah jauh dari rumah lama, teror-teror yang menimpa Bima tidak juga mereda. Mereka mulai menyadari bahwa kematian nenek Bima memiliki kaitan dengan munculnya peristiwa-peristiwa mengerikan ini. Kala dan Radit pun memulai pencarian solusi agar makhluk-makhluk gaib tersebut tidak lagi mendekati mereka dan keluarga mereka.
Well, adakah poin yang membuat film ini menonjol dibanding barisan "kembarannya" yang lain? Ya dan tidak. Ya, karena skenario yang juga ditulis oleh Kenny Gulardi ini sejatinya menyimpan faktor pembeda dalam hal detail ritual kultusnya. Beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi cukup menarik, termasuk adanya aspek kontroversial di dalamnya.
Akan tetapi, berbagai modal di atas terasa mubazir sewaktu Kenny tak mampu mengolahnya menjadi penceritaan memadai. Pertama, tiada alasan untuk memperdulikan misterinya. Naskahnya luput mencuatkan pertanyaan yang bisa memancing rasa penasaran.
Kedua, ketimbang menyebar beragam pembeda tadi secara merata di sepanjang durasi film, serupa kelemahan di banyak horor kita, naskahnya menumpuk semuanya di paruh akhir, pun hanya disinggung sejenak tanpa eksplorasi yang layak. Hal-hal yang semestinya dijadikan pondasi cerita hanya diperlakukan bak sekilas info.
Alhasil, 115 menitnya tetap terasa kosong, dengan sederet adegan yang tampil melelahkan akibat bergulir secara berlarut-larut. Keberanian konklusinya bermain di ranah yang tergolong kelam pun jadi percuma akibat lemahnya proses menuju ke sana. Belum lagi ditambah masalah performa akting yang kurang seimbang. Ketika Putri Ayudya kembali bermain solid sebagai aktris yang ahli dalam mengolah ketakutan, pasangannya, Fandy Christian masih nampak terlalu kaku untuk bisa menarik perhatian.
Tapi di balik itu semua, terkait urusan teror, sebagaimana telah ia perlihatkan di Pamali, Kenny Gulardi yang duduk di kursi sutradara kentara menyimpan bakat dalam hal mengatur timing suatu jumpscare. Hanya saja, tatkala tiap penampakan rutin dibarengi oleh efek suara pemecah gendang telinga, daripada ketakutan, justru kelelahan berkepanjangan yang filmnya berikan.