Review Perayaan Mati Rasa: Emosional dan Menggugah
Baba Qina - Kamis, 30 Januari 2025 08:32 WIBEmpat tahun lalu, seorang anak muda bernama Umay Shahab mencoba bercerita lewat debut penyutradaraan filmnya. Tentu kita semua ragu. Ketika nama-nama senior saja masih kesulitan menuturkan tema kesehatan mental secara serius dan tepat, apakah dia yang waktu itu belum genap berkepala dua mampu? Dan nyatanya demikian.
Meski jauh dari luar biasa, Kukira Kau Rumah adalah awal perjalanan yang patut diapresiasi. Lalu, dua tahun setelahnya, melalui Ketika Berhenti di Sini, Umay lagi-lagi menelurkan karya sophomore penuh kepercayaan diri, yang membuktikan bahwa usia memang hanyalah angka.
Kini, ia kembali lagi dengan karya terbarunya berjudul Perayaan Mati Rasa. Perayaan Mati Rasa akan berkisah tentang seorang anak pertama bernama Ian (Iqbaal Ramadhan). Ian rupanya sedang berjuang meraih mimpi dan berusaha keras mewujudkan ekspektasinya. Namun, kesibukannya tadi malah membuat Ian jauh dari keluarga.
Hubungan Ian dengan orang tuanya juga kurang harmonis. Apalagi, Ian acap dibanding-bandingkan dengan adiknya, Uta (Umay Shahab), yang memiliki kehidupan sesuai keinginan orangtuanya. Suatu hari, sebuah peristiwa tak terduga membuat Ian dan Uta harus kehilangan sang ayah (Dwi Sasono). Kenyataan pahit itu membuat mereka harus merasakan hidup dengan banyak kegagalan.
Meski demikian, mereka tetap berusaha menghadapi semua masalah bersama-sama. Ian pun berjuang sekuat tenaga memikul tanggung jawab besar sebagai anak sulung. Lantas, bagaimana Ian menghadapi segala masalah dalam hidupnya?
Dari segi konsep, film ini mencoba untuk menggabungkan elemen laut sebagai metafora. Sayangnya, konsep tersebut masih terasa agak kikuk sehingga kesan yang muncul justru seperti upaya "flexing" yang tidak sepenuhnya organik.
Namun, film ini tetap memiliki beberapa adegan yang sukses membangun keterhubungan emosional dengan audiens, serta menciptakan pengalaman rollercoaster yang cukup menggugah. Walaupun, masih ada beberapa aspek yang terasa kurang realistis, terutama dalam penggambaran dinamika keluarga Indonesia di era modern ini.
Transisi antar adegan juga masih terasa kurang halus sehingga membuat ritme film terasa melompat-lompat. Akibatnya, beberapa di antara sobat teater mungkin belum benar-benar merasakan kedalaman drama maupun koneksi antar karakternya. Sementara itu, naskah film ini sebenarnya sudah cukup kuat dalam membangun fondasi cerita, walaupun beberapa dialog masih terdengar kurang natural.
Lalu, ketika film mulai memasuki bagian pesan moralnya, perubahan tone entah kenapa juga terkesan menjadi lebih kaku dan kurang mengalir, membuatnya terasa terlalu dibuat-dibuat daripada mengalir secara organik. Tapi lagi-lagi, secara keseluruhan, film ini tetap menghadirkan cerita yang menarik, emosional, dan bermakna.
Overall, meskipun masih memiliki beberapa kelemahan dalam struktur dan eksekusi, Perayaan Mati Rasa tetap berhasil menghadirkan karakterisasi yang berkembang dengan baik. Ya, Perayaan Mati Rasa tetaplah menjadi sebuah tontonan yang layak untuk diapresiasi oleh kita semua, terutama bagi mereka yang ingin melihat gebrakan baru dari sineas muda Indonesia. Menarik melihat karya-karya terbaru dari rumah produksi Sinemaku Pictures ke depannya.