Review Pengepungan di Bukit Duri: Bukan Film Action-Thriller Biasa

Baba Qina - Senin, 21 April 2025 09:39 WIB
Review Pengepungan di Bukit Duri: Bukan Film Action-Thriller Biasa

Sutradara kawakan Joko Anwar kembali menggebrak dunia perfilman nasional dengan karya terbarunya berjudul Pengepungan di Bukit Duri. Film ini tak hanya menyajikan ketegangan, tetapi juga coba menggali isu-isu sosial yang mendalam, seperti kekerasan di kalangan remaja dan tantangan yang dihadapi oleh para pengajar di Indonesia.

Film Pengepungan di Bukit Duri akan mengikuti kisah seorang guru pengganti bernama Edwin (Morgan Oey). Ia memiliki misi pribadi untuk mencari keponakannya yang dikabarkan bersekolah di SMA Duri, sebuah sekolah yang memiliki reputasi buruk sebagai tempat berkumpulnya anak-anak buangan dan sarang kekerasan.

Namun, pencarian Edwin berubah menjadi mimpi buruk ketika ia berhasil menemukan keponakannya, Kristo (Endy Arfian). Kekacauan dan kerusuhan melanda seluruh kota yang membuat Edwin dan Kristo, serta beberapa murid lainnya terjebak di dalam SMA Duri. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar kini bertransformasi menjadi arena pertempuran yang brutal demi mempertahankan hidup.

Well, Pengepungan di Bukit Duri bukan hanya sebuah film, melainkan gema nurani yang menggugah, menggugat, serta mengguncang. Di tengah hiruk-pikuk layar lebar lokal yang kerap memilih aman, karya ini hadir sebagai suara lantang yang berani mengangkat kenyataan pahit yang selama ini dikunci rapat oleh sistem, bahwa ruang belajar kita yang seharusnya memerdekakan, justru menjadi ladang ketimpangan dan ketakutan.

Film ini akan menyingkap dengan jujur bagaimana diskriminasi bekerja dalam diam. Perbedaan yang seharusnya dirayakan, seperti ras, agama, nama atau marga keluarga, maupun warna kulit, malah menjadi alasan untuk dikucilkan. Di balik seragam dan pelajaran, banyak anak harus berjuang sendiri dalam menghadapi tekanan.

Banyak para pengajar di luar sana pun terjebak, bukan sebagai tenaga pengajar yang mendidik, tapi sebagai alat sistem yang menekan ataupun ditekan. Ketika minoritas dibungkam, dan kaum mayoritas merasa paling berhak atas segalanya, ruang sekolah pun berubah menjadi ruang penghakiman. Kira-kira seperti itu pesan yang diangkat oleh sang sutradara, Joko Anwar.

Yap, pesan filmnya memang gamblang. Ibarat debu, sejarah yang sengaja disapu ke bawah karpet nantinya pasti akan kembali lagi ke permukaan, dan bentuknya bisa sebrutal yang digambarkan oleh film ini. Tapi Joko rupanya tidak sedang berceramah, dia lebih memilih untuk menjadi storyteller yang tajam. Joko seakan menunjukkan ke kita semua bagaimana kekerasan struktural dan diskriminasi bisa menyulut radikalisasi di kalangan generasi muda.

Overall, Pengepungan di Bukit Duri bukan hanya sekadar film action-thriller biasa. Ini adalah sebuah karya yang berani, intens, dan penuh pesan sosial yang relevan dengan kondisi saat ini. Joko Anwar pada akhirnya sukses menyatukan cerita yang kelam, disertai visual yang kuat, musik yang emosional, dan akting luar biasa yang menjadi suatu pengalaman sinematik yang sulit dilupakan. Namun, perlu diingat bahwa film ini bisa sangat triggering bagi para korban kekerasan, bullying, dan diskriminasi SARA. Meski begitu, film ini sangat wajib untuk ditonton di bioskop.