Review Lampir: Film Horor dengan Elemen Budaya Lokal yang Kental
Baba Qina - Jumat, 16 Februari 2024 15:12 WIBSineas muda Kenny Gulardi tahun ini kembali dengan ide cerita yang menarik. Setelah film Perjamuan Iblis yang terinspirasi dari lukisan karya Leonardo Da Vinci, kali ini Kenny coba comeback di ranah horor dengan mengangkat konsep permainan dan surviving. Judul film tersebut adalah Lampir.
Film Lampir sendiri akan menceritakan kisah mengerikan yang dialami oleh sepasang kekasih bernama Wendy (Jolene Maire) dan Angga (Rory Asyari) yang tengah sibuk dengan persiapan pernikahan mereka. Pada suatu hari, keduanya sepakat melakukan pemotretan prewedding di sebuah vila mewah bergaya vintage. Pasangan ini pun turut mengajak teman-teman mereka untuk sekaligus bersenang-senang bersama.
Namun sialnya, vila tersebut merupakan vila keramat yang ditempati oleh sesosok bernama Mak Lampir. Konon, ia bernafsu untuk menjadi manusia tercantik dan hidup abadi. Mak Lampir lalu menjebak mereka dengan permainan yang mematikan. Wendy, Angga, beserta teman-temannya pun harus berusaha keras agar bisa keluar dari vila angker tersebut. Berhasilkah mereka semua lolos dari maut?
Salah satu aspek yang membuat film Lampir ini menonjol adalah keberhasilannya dalam menyelipkan elemen budaya lokal ke dalam ceritanya. Film ini tidak hanya sekadar menyuguhkan adegan horor, tetapi juga memperkenalkan penonton pada tradisi-tradisi budaya, terutama terkait dengan keberadaan urban legend Mak Lampir.
Ya, hal di atas tentunya memberikan dampak yang maksimal karena pada akhirnya kisah dalam film ini akan menghadirkan kedekatan dengan para penontonnya sehingga lebih bisa merasakan dan larut dalam suasana teror yang dibangun. Horor yang bersifat lokal seperti ini memang jarang ditemui di film-film horor kita.
Namun, bukan berarti film ini tak memiliki poin minus. Yang menjadi salah satu kelemahan utamanya ialah tempot plotnya yang lambat dan tak segera menggulirkan konflik, sehingga akan membuat kita merasa bosan. Lantar konflik antar kedua tokoh utamanya pun masih penulis rasa kurang.
Poin kedua adalah di sektor teknis. Wardrobe dan make-up effect dari sosok Mak Lampir masih ditampilkan seadanya. Mungkin sang sutradara terlihat ingin memvisualisasikan sosok tersebut lewat versinya sendiri. Belum lagi pergerakan kameranya yang terlalu banyak bergoyang dan color gradingnya yang tidak konsisten.
Namun, jika sobat teater ingin menyaksikan film bergenre horor yang cukup fresh, maka film Lampir ini patut dicoba. Karena kapan lagi kita dapat melihat film horor lokal bertema horor yang mengangkat konsep game dan surviving.