Review Lafran: Sajian Edukatif yang Menyenangkan

Baba Qina - Sabtu, 22 Juni 2024 07:56 WIB
Review Lafran: Sajian Edukatif yang Menyenangkan

Semua kader ataupun alumni dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tentu mengenal sosok bernama Lafran Pane. Ia adalah salah satu pendiri HMI dan bergelar pahlawan nasional. Gelar kepahlawanan Lafran Pane yang diberikan pada tahun 2017 lalu merupakan hal yang pantas mengingat kiprah dan perjuangan Lafran mulai dari pergerakan pemuda pada zaman kemerdekaan hingga mendirikan organisasi HMI.

Kisah hidup Lafran Pane tersebut yang kemudian coba diangkat oleh sutradara Faozan Rizal ke layar putih dengan judul Lafran. Kisah filmnya sendiri pastinya tidak jauh-jauh dari kisah nyatanya. Lafran akan mengisahkan perjuangan sosok Lafran Pane (Dimas Anggara) dalam mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947.

HMI merupakan sebuah organisasi yang bertujuan untuk mewadahi perjuangan mahasiswa Islam agar bisa bergerak secara independen, tidak berafiliasi pada partai politik, dan memiliki kepedulian terhadap umat dan bangsa. Namun, kisah hidup Lafran semakin rumit saat pendudukan Jepang melanda Indonesia.

Dengan semangat patriotisme yang membara, Lafran lalu ditahan karena membela para peternak sapi dari kekejaman penjajah. Hingga akhirnya, Lafran mendirikan HMI pada 5 Februari 1947. Hingga kini, HMI menjadi organisasi kampus terbesar di Indonesia dan melahirkan banyak tokoh pemimpin bangsa.

Bisa dibilang, Faozan Rizal cukup berhasil dalam melahirkan karya biopik yang sudah menjadi ranahnya ini. Faozan mampu “melahirkan” sosok karakter Lafran Pane yang dapat memunculkan rasa hormat, bahkan oleh penonton yang belum mengenal sosok Lafran itu sendiri.

Walaupun begitu, Lafran lumayan cukup berisiko. Pasalnya, Faozal Rizal selaku sutradara, cenderung bertutur secara lirih. Hal tersebut sepertinya bukannya tanpa maksud. Cara itu memang sengaja dipakai untuk membangun keintiman, di mana sosok Lafran dan karakter-karakter di sekitarnya saling berbagi pemikiran serta kegundahan satu sama lain.

Ada kalanya film ini memunculkan kesan syahdu, tapi acap kali filmnya terasa melelahkan lantaran pendekatan di atas tadi luput didukung oleh naskah yang jeli mengolah dinamika. Walau cerdik menyusun penokohan, naskah buatan Oka Aurora dan Jujur Prananto ini nampak terbebani keharusan merangkum perjalanan hidup Lafran Pane dari A sampai Z. Akibatnya, beberapa titik seperti cuplikan sejarah singkat seolah-olah hanya tampil sambil lalu tanpa eksplorasi yang dalam.

Tapi tenang. Film Lafran pada akhirnya tetap mampu menjadi sajian yang edukatif karena penonton dapat belajar tentang tokoh sejarah dalam media yang lebih menyenangkan. Tidak hanya tentang perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia, semangat belajar dan perjalanan hidup yang penuh romantika juga cocok menghibur dan menjadi contoh kita semua