Review Film Kromoleo: Potensi Ceritanya Menarik, Tapi…

Baba Qina - Sabtu, 24 Agustus 2024 09:00 WIB
Review Film Kromoleo: Potensi Ceritanya Menarik, Tapi…

Setelah menimbulkan kontroversi dengan filmnya yang dirilis beberapa bulan silam yang berjudul Vina: Sebelum 7 Hari yang mengangkat isu tentang penegakan hukum dan keadilan yang belum tercapai tentang kasus kematian Vina Cirebon yang belum tuntas proses hukumnya karena diduga melibatkan sosok orang kuat, kini Anggy Umbara coba melakukan hal serupa dalam film barunya yang berjudul Kromoleo. Film Kromoleo sendiri memang diangkat dari kisah urban legend dengan pesan penting tentang kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Secara lengkap, film Kromoleo mengisahkan satu hari yang panjang nan mencekam di Desa Majenang, Jawa Tengah, ketika Zia (Safira Ratu Sofya) datang dari kota dan ingin menghadiri pemakaman ibunya. Dia mengabaikan larangan kakeknya, Danang (Tio Pakusadewo) dan bersikeras pergi ke desa tersebut.

Mengambil latar waktu pada 1984, kedatangan Zia yang ditemani Dika (Arbun Sungkar) ternyata bukan sekadar ingin menghadiri pemakaman ibunya. Dia hendak memenuhi rasa penasaran untuk mengungkap keberadaan ayahnya, Djarot (Cornelio Sunny) yang hilang secara misterius saat Zia masih berusia 10 tahun. Namun, siapa sangka, kedatangan Zia justru diselimuti oleh teror kromoleo. Satu per satu warga desa yang melihat hantu keranda ini berakhir tewas secara tragis.

Penulis sebenarnya tidak menganggap "aji mumpung" di film sebagai sebuah dosa besar. Sebuah industri yang eksis dengan tujuan mencari uang dan memilih mengikuti tren untuk mendatangkan keuntungan tidaklah bisa dipersalahkan. Namun, penulis ingin mengkritik film ini karena para pembuatnya tidak menambahkan value apapun dalam upaya aji mumpung mereka tadi.

Horor kesekian dari Anggy Umbara ini sejatinya hanyalah sebatas produk asal jadi yang bak dibuat secara autopilot. Kesan bahwa Kromoleo dibuat asal-asalan pun nampak sekali ketika filmnya mulai menebar teror. Buildup-nya selalu sama. Temponya seolah dipanjang-panjangkan, lalu hadir jump scare generik di mana sang hantu sekadar setor muka dengan banyak sekali penggunaan teknik zoom in dan zoom out tak berguna.

Pengarahan Anggy, hingga akting Safira Ratu Sofya gagal dimaksimalkan. Sekalinya kreativitas coba diperas, yang muncul justru salah satu adegan paling konyol di horor lokal kita dalam beberapa waktu terakhir. Jika oleh pembuatnya momen tersebut dianggap unik, maka tidak heran jika kualitas horor kita cenderung akan stagnan.

Di ranah penceritaan, Kromoleo sejatinya menyimpan potensi menarik soal background Petrus (penembak misterius) yang sempat heboh beberapa tahun lampau. Sayang seribu sayang, eksplorasi naskahnya masih amat dangkal. Naskahnya lebih memilih memutar otak untuk melahirkan berbagai twist bodoh yang menumpuk di penghujung durasi.

Overall, Kromoleo menjadi satu lagi eksperimen horor yang gagal dari seorang sineas bernama Anggy Umbara. Ada baiknya, Anggy rehat sejenak dari ranah horor lokal untuk kemudian mengeksplor genre lainnya yang lebih variatif. Atau, jika ingin tetap di genre ini, ia harusnya lebih tepat lagi dalam memilih sosok penulis skenario yang benar-benar tahu cara membuat film horor yang berkualitas.