Review Bonnie: Suguhkan Adegan Perkelahian Tanpa Henti, Tapi...

Baba Qina - Kamis, 29 Februari 2024 14:37 WIB
Review Bonnie: Suguhkan Adegan Perkelahian Tanpa Henti, Tapi...

Film Indonesia memang tak terlalu banyak merambah genre action. Entah dengan alasan keterbatasan teknologi atau bujet dalam standar pertaruhan pasarnya. Namun kini, sineas Agus H Mawardy coba melakukan pertaruhan tersebut dalam sebuah film berjudul Bonnie.

Bonnie bercerita tentang seorang remaja perempuan yang bernama Bonnie (Livi Ciananta). Ia handal dalam beladiri. Kemampuan bela dirinya juga ia perlihatkan di sekolahnya. Hanya saja, ia sering mendapatkan masalah di lingkup sekolahnya akibat perkelahian tersebut. Masalah inilah yang membuatnya sering didepak dari sekolah.

Masalah yang ia hadapi rupanya tidak hanya berhenti di situ saja. Ia juga memiliki masalah sendiri di lingkungan keluarganya. Hal ini karena orang tuanya ternyata terlibat bentrok dengan gangster. Akibat cekcok tersebut, lawan ayahnya yang namanya Paul (Max Metino) lantas memburu Bonnie.

Bisa dibilang, menyimak premis film Bonnie sedikit banyak menumbuhkan ekspektasi tinggi bagi penulis. Namun, sayang seribu sayang, film ini tak terlalu mengubah ekspektasi tadi menjadi realita. Film aksi-kriminal ini punya jalan cerita yang mirip sinetron. Awalnya, film ini seperti kesulitan menemukan konflik. Baru terbuka konfliknya ketika Paul menjumpai Bonnie dan terjadilah perselisihan yang sengit.

Sialnya, untuk sebuah film laga, Bonnie memulai konfliknya terlalu sederhana. Bahkan agak sulit menemukan kekuatan dari film ini. Sebab, hampir di beberapa menit sekali, penonton disuguhkan adegan perkelahian tanpa henti. Film aksi memang identik dengan baku hantam, tapi cerita yang kuat tetap harus jadi nafas utamanya.

Entah mengapa, film Bonnie ini seperti kesulitan berkembang. Selain ceritanya yang kurang kuat, film aksi ini terasa seperti sinetron di awal tahun 2000-an. Dari mulai pengambilan gambar, warna yang jadul, sampai scoring yang hampir terdengar di semua adegan. Sayangnya, scoring itu malah tidak terlalu membungkus ketegangan dalam film.

Belum lagi dialog yang dipakai di film ini juga terdengar agak jadul dan kurang konsisten. Untuk sebuah film laga yang punya kesan badass, barangkali kata ganti “saya” dan “kamu” kurang masuk di telinga. Sebenarnya, bahasa “slengean” lebih cocok untuk film ini, tapi entah mengapa beberapa kali dialognya menggunakan kata-kata yang teramat baku.

Namun, di atas itu semua, bolehlah kita berikan apresiasi lebih kepada seorang Agus H Mawardy yang berani mengambil resiko mengangkat kembali genre ini. Tapi kembali lagi, apapun genre-nya, naskah atau cerita tetap harus menjadi pondasi utamanya.