Review Bangku Kosong: Ujian Terakhir: Lebih Baik atau Buruk Dibanding Film Pertama?

Baba Qina - Jumat, 6 Oktober 2023 15:14 WIB
Review Bangku Kosong: Ujian Terakhir: Lebih Baik atau Buruk Dibanding Film Pertama?

Sobat teater pernah menonton film horor berjudul Bangku Kosong? Ya, film horor ini pernah meraih sekitar 865.328 penonton ketika ditayangkan di bioskop pada tahun 2006 silam. Angka tersebut terbilang cukup tinggi mengingat pada tahun tersebut jumlah layar bioskop masih sekitar sepertiga dari jumlah layar saat ini. Karya Helfi Kardit ini pun sesungguhnya cukup populer karena diadaptasi dari kisah horor di salah satu sekolah di kota Tasikmalaya. Ditambah lagi, film ini juga memiliki salah satu kriteria film horor populer pada zamannya, yakni dibintangi aktris cantik (pada film ini ada Cathy Sharon).

Kini, rumah produksi Starvision dengan percaya diri melakukan reboot terhadap film produksinya tersebut, yang kali ini diberi judul Bangku Kosong: Ujian Terakhir. Bangku penyutradaraan pun turut beralih ke Lakonde, yang dibantu oleh produser kreatif dan penulis ide cerita Monty Tiwa. Cerita film Bangku Kosong: Ujian Terakhir ini akan mengikuti ujian terakhir siswa kelas 3 SMA Bintang Bangsa, yang berakhir mengerikan. Diawali dari peristiwa brutal kesurupan siswi yang mencelakai siswa lainnya. Tak lama siswa-siswi kesurupan menjadi bertambah banyak, dan korban pun berjatuhan.

Dalam sekejap, aula sekolah menjadi ladang pembantaian. Sebagian mencoba lari ke luar, tapi tiba-tiba sekolah telah “tertutup” oleh kekuatan jahat. Puluhan siswa-siswi tewas mengerikan. Kekuatan iblis menyandera dan mengancam nyawa mereka. Kepala Sekolah, Ibu Amanda (Karina Suwandi) segera meminta bantuan Abah Ayub (Teddy Syach) dan asistennya, Nakila (Lania Fira), untuk menyelamatkan sekolahnya. Ternyata, yang mereka hadapi adalah sesosok iblis berkekuatan luar biasa yang berniat menghabisi siapapun di sekolah tersebut.

Menonton film ini mungkin akan mengingatkan kita pada film Sajen yang juga dirilis oleh rumah produksi yang sama, yang juga bercerita di sebuah sekolah. Pada kedua film, terdapat sebuah rahasia tentang kasus kelam yang disembunyikan rapat-rapat oleh sang kepala sekolah. Jika pada Sajen kasus tersebut adalah bunuh dirinya siswa yang ter-bully, maka pada film ini kasus tersebut diungkap perlahan-lahan. Semula, penulis pun mengira bahwa film ini juga membawa pesan anti-bullying. Namun, pesan tersebut makin sirna seiring dengan terungkapnya rahasia di balik bangku yang diduduki oleh para siswa.

Jika film pertamanya kuat di sektor naskah dan penceritaan, maka film kedua ini justru kebalikannya, lemah dalam semua aspek. Sepanjang film kita akan terus-terusan berbicara "ini kapan udahannya ya?" "gitu doang?" "kesurupannya kaya gembel". Yap, sayangnya film ini sama sekali tak mendongkrak film pertamanya yang tahun itu sangat booming. Dibuka dengan rentetan kesurupan massal dibalut thriller sadis ala-ala zombie Train To Busan dan Reuni Z yang sangat masif, lalu semuanya benar-benar mendadak sirna setelah pertengahan film.

Premis yang sederhana dan tertebak sebenarnya bukan masalah besar, seandainya di dalamnya ada dinamika dan ritme yang intens, sesuatu yang tidak dipunyai oleh film ini. Secara garis besar, alur Bangku Kosong: Ujian Terakhir bisa dipaparkan menjadi kesurupan, lari-larian, sembunyi, ngobrol-ngobrol sedikit, kesurupan lagi, lari-larian lagi, ngobrol lagi dan begitu seterusnya.

Padahal, Bangku Kosong: Ujian Terakhir bisa memiliki potensi yang menarik, mengingat film bertema ini jarang ada di perfilman Indonesia. Sayangnya, Lakonde dan Monty tidak tahu bagaimana mengemas film secara proporsional. Bahkan mencapai titik standar saja masih sulit. Oleh karena itu, film ini pada akhirnya malah dipenuhi dengan candaan kering yang asyik sendiri, horor mentah, serta drama dengan kadar emosional seartifisial pemanis buatan.

Sebenarnya ada banyak film di Hollywood sana yang dapat digunakan sebagai contoh bagaimana mengeksekusi sebuah horor yang baik. Tidak harus mengimitasi secara keseluruhan tentu saja, namun bolehlah menjadi referensi sehingga bisa menghindari film ini dari resiko menjadi serba tanggung dan terlihat seperti film berkualitas rendah. Setelah Bangku Kosong: Ujian Terakhir ini, mungkin sudah saatnya Lakonde mengevaluasi lebih lanjut niatnya untuk menjadi seorang sutradara film layar lebar, dan kembali duduk menggarap karya-karya di layar televisi saja.