Review Aku Jati Aku Asperger: Ramuan Drama dan Komedinya Ciamik!
Baba Qina - Jumat, 1 November 2024 08:23 WIBBeberapa judul film drama banyak yang memiliki cerita tentang penyakit sebagai tema utamanya. Ceritanya yang tragis dan penuh perjuangan akan membuat penonton suka dengan film bertema seperti ini. Seperti yang ditawarkan oleh film baru berjudul Aku Jati Aku Asperger garapan Fajar Bustomi.
Film Aku Jati Aku Asperger akan mengisahkan perjuangan Jati (Jefri Nichol), seorang pemuda dengan sindrom asperger, dalam menghadapi kehidupan dan menemukan jati dirinya. Karakter Jati memiliki ketertarikan mendalam pada kereta api. Ia juga sangat bergantung pada kakaknya, Daru (Pradikta Wicaksono), dan kekasihnya, Tiara (Carissa Perusset).
Ketika hubungan Daru dan Tiara berakhir, kehidupan Jati pun ikut terguncang. Jati berjuang untuk keluar dari rutinitasnya dan berusaha meyakinkan Jenar (Hanggini) agar menjadi pasangan bagi Daru. Lantas, mampukah Jati melewati berbagai tantangan yang ada di hadapannya?
Sebagai informasi, film ini merupakan remake dari film Swedia berjudul I Rymden Finns Inga Känslor atau yang dikenal dengan judul Simple Simon yang dirilis pada tahun 2010 silam. Dari segi cerita, film ini cukup berhasil mengadaptasi ke dalam budaya lokal sehingga ketika kita menontonnya dijamin tidak akan merasa asing dan dapat masuk ke dalam ceritanya.
Hal di atas tadi dibantu oleh sisi sinematografinya yang indah dan juga disertai permainan warna yang memang disengaja, agar kita bisa terbawa ke dalam point of view dari sang karakter utama, Jati. Ramuan yang ciamik mulai dari drama sampai komedi juga disusun dengan sangat baik sehingga penonton dapat menikmatinya bagaikan permainan rollercoaster.
Kepiawaian para cast-nya bisa dibilang sudah tidak perlu diragukan lagi dalam memerankan karakter mereka. Namun, yang menjadi spotlight tentunya adalah Jefri Nichol yang tidak akan terlihat sebagai sosok Jefri di film ini, sebab ia sudah menjelma sebagai Jati. Hal ini tentunya karena pendalaman dan pengamatan Jefri terhadap para penderita sindom Asperger yang dilakukan dengan seksama.
Aku Jati Aku Asperger jelas menebar banyak ranjau emosi. Namun, caranya mendramatisasi tak terjerumus ke ranah eksploitasi. Rasa sakit digambarkan sebagai rasa sakit. Bukan sesuatu yang perlu dihias musik mendayu-dayu atau kalimat bernada memelas. "Rasa" lebih banyak berasal dari akting ketimbang pengadeganan yang manipulatif.
Akhir kata, Aku Jati Aku Asperger adalah sebuah film yang membuktikan bahwa film remake bisa sama bagusnya dengan film orisinalnya jika dilakukan dengan penuh kecermatan.